MERESPON POST TRUTH ERA

MERESPON POST TRUTH ERA

Penulis: Mansur Arsyad

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti (bertabayyunlah) agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu (QS. Al-Hujurat[49]: 6). 

Jika kita adalah pengguna gawai yang tersambung ke platform sosial media maka itu pertanda bahwa kita telah menjadi bagian dari ekosistem post truth.  Tanpa kita memintanya, kita akan disuguhi berbagai informasi dalam berbagai bentuk dan bemacam topik. Mulai dari iklan, propaganda politik, nasehat atau tauziah agama, narasi kebencian, guyonan, modus-modus penipuan, dan berbagai hal. Semua itu datang bagaikan air bah yang membanjiri gawai tanpa mampu kita bendung.   

Post truth adalah era dimana objektivitas semakin sulit dikenali hingga tidak lagi menjadi sandaran kualitas. Kebohongan dengan sangat mudah disamarkan menjadi kebenaran, dan superioritas emosi terhadap fakta dan nalar menjadi semakin mengemuka dalam komunikasi publik. Post truth memiliki algoritma yang dapat memelintir nalar sehingga kita kesulitan sampai pada kebenaran. Maka tidak mengherankan begitu mudahnya kemudian orang-orang menciptakan berita palsu, kebohongan yang tersamar dan ilusi yang seakan sebuah fakta yang kemudian dikemas sedemikian rupa dengan teknologi dan diedarkan menggunakan kekuatan media sosial.

Post truth, pada akhirnya menjadi issu global yang menarik perhatian dunia terutama setelah kata tersebut dimasukkan dalam Kamus Oxford 2016. Alhasil, banyak kalangan yang melihat fenomena post truth sebagai bentuk destruktif dari peradaban modern dimana salah satu konsekuensinya adalah hilangnya akuntabilitas dalam komunikasi publik. Bahkan kelompok yang lebih ekstrem melihat fenomena ini  sebagai bentuk keruntuhan sosial dan politik. Tanpa disadari, akurasi atau kejujuran dalam wacana publik dan komunikasi sosial semakin meredup.

Realitas telah bergeser jauh ke ranah subjektivitas dimana kebenaran cenderung diukur dengan tingkat kepentingan subjektif. Artinya apresiasi terhadap suatu informasi, keterangan, berita atau sejenisnya tergantung pada tingkat kesesuaian dengan kepentingan seseorang atau kelompoknya. Hal itu tidak hanya melanda kalangan awam. Kalangan intelektual atau akademisi pun tidak lagi memiliki ketegaran intelektualitas menghadapi gejolak post truth tersebut. Ada yang menyebutnya sebagai 'korupsi integritas intelektual’. Yaitu ketika para intelektual tidak lagi memiliki ketahanan integritas yang memampukannya tegap pada pendirian intelektualnya tatkala berbeda dengan kekuasaan atau otoritas politik. Tidak sedikit golongan intelektual yang luruh dihadapan tekanan otoritas atau sebaliknya  menjadi naif diterpa godaan kepentingan pragmatis.

Tabayyun

Pesan yang tersurat dalam Al-Qur'an yang dikutip di atas adalah sebuah isyarat peradaban yang diabadikan dalam Kitab Suci Al-Qur'an 14 Abad yang lalu. Di setiap masa selalu ada sisi gelap dalam berbagai wujudnya. Orang-orang yang dijuluki kaum fasik dalam ayat tersebut juga selalu mampu menciptakan panggung dan membangun komunitasnya. Di era post truth ini, sebagian dari kaum fasik itu terus menerus menyebarkan kebingungan dan tipu daya secara sengaja, baik untuk tujuan komersial (penjualan produk), ketenaran, agenda politik ataupun untuk meraih simpati dan keberpihakan dari kelompok tertentu.

Maka post truth ini semacaram era keemasan atau puncak kejayaan orang-orang fasik dimana teknologi menjadi kanal yang mewah bagi mereka untuk memuaskan naluri kefasikannya meski dengan cara menyebarkan kebohongan, menciptakan kekacauan dan disharmoni sosial. Mereka, dengan fasilitas teknologi mampu memanipulasi emosi masyarakat sehingga masyarakat tidak mampu lagi mengaktifkan nalar kritis mereka menghadapi setiap situasi yang disodorkan kepadanya.

Al-Qur'an telah memberi salah satu kata kunci dalam menyikap hal tersebut yaitu “tabayyun”. Bertabayyun artinya mencari kebenaran melalui verifikasi, chek and rechek, validasi, merujuk pada sumber asli, menguji atau menalar secara kritis sehingga sesuatu bisa diterima sebagai kebenaran yang sahih. Tabayyun merupakan representasi dari sikap kehati-hatian dan keseksamaan. Tabayyun adalah berpikir dan bersikap kritis. Tabayyun merupakan suatu prinsip etis dalam komunikasi baik dalam lingkup kecil personal maupun dalam skala yang luas yaitu komunikasi publik.

Tabayyun seyognyanya juga dapat dipandang sebagai penyeimbang dari budaya viralitas. Artinya bertabayyun tidak anti terhadap kecepatan penyebaran informasi asal didasari pada pertimbangan kemanfaatan, keakurasian dan responsibilitas. Faktanya orang mudah sekali tergoda untuk menviralkan suatu informasi atau konten tertentu tanpa menimbang sisi kemanfaatan atau kesahihan informasi atau konten tersebut. Padahal, terhadap setiap informasi atau konten yang kita terima maupun yang kita bagikan ada tanggung jawab etis dan moral yang melekat padanya.

Peran Strategis Pendidikan

Pendidikan menempati peran strategi di hulu dalam menghadapi era post truth. Yaitu, bagaimana pendidikan membekali anak dengan kemampuan berpikir kritis ditengah-tengah fenomena budaya instan.  Diawali dengan optimisme bahwa anak-anak kita tidak serapuh yang mungkin kita bayangkan. Meskipun mereka dilahirkan di dunia yang menawarkan berbagai kemudahan namun pada saat yang sama mereka memiliki waktu yang lebih banyak untuk mengolah pengalaman belajar mereka dan menumbuh kembangkan kreativitas. Pengalaman-pengalaman belajar anak harus mencakup tantangan-tantangan dan problem yang dirancang secara kreatif oleh guru untuk membangun kapasitas resiliensi, problem solving dan daya kritis mereka.

Ada ungkapan klasik yang cukup populer dari Descartes yaitu “Cogito Ergo Sum” (aku berpikir maka aku ada).  Ungkapan tersebut pada dasarnya merefleksikan eksistensi manusia yang ditentukan oleh salah satu kualitas kemanusiaannya yaitu berpikir. Ungkapan lain yang senada dengan itu adalah bahwa perbuatan yang paling berbahaya adalah perbuatan yang dilakukan tanpa berpikir. Kedua ungkapan tersebut merujuk pada otonomi akal yang merupakan fitrah manusia.

"Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. Demikianlah Al-Qur'an menyentil soal pentingnya berilmu dan penggunaan akal. Hal itu juga sejalan dengan ungkapan dari Einstein “Education is not the learning of facts, but the training of the mind to think”. (pendidikan bukanlah pembelajaran fakta-fakta, tetapi pelatihan pikiran untuk berpikir). Maka berpikir harus menjadi ruh dari pendidikan. Penggunaan pikiran yang terus dilatih untuk berpikir melalui proses-proses pembelajaran adalah salah satu upaya pertahanan aktif dalam menghadapi tekanan post truth.  Wallahu a’lam bishawab.

  

Comments

  1. MasyaAllah analisisnya bagus pak Mansur. Relevan dengan kondisi saat ini

    ReplyDelete
  2. Exelent P. Mansur, teruslah menulis sobat, kami selau menanti hasilnya

    ReplyDelete
  3. Tulisan yang spektakuler, semakin memperjelas eksistensi Pak Dr. Mansur sebagai "Cogito Ergo Sum."

    ReplyDelete
  4. Exelent Pak, semoga menjadi inspirasi bagi pendidik untuk merespon perkembangan masyarakat

    ReplyDelete
  5. Super sekali, suka dengan penggalan kalimat ini "pengalaman belajar anak harus mencakup tantangan-tantangan dan problem yang dirancang secara kreatif oleh guru untuk membangun kapasitas resiliensi, problem solving dan daya kritis mereka."

    ReplyDelete
  6. Sangat inspiratif. Tulisannya efektif.

    ReplyDelete
  7. Tulisannya selalu kerenπŸ‘πŸ‘πŸ‘

    ReplyDelete
  8. Hebat . Inspiratif. Bahasanya efektif. Sukses selalu,Pak.

    ReplyDelete
  9. Mantap analisis dan solusinya Pak Mansur, terus berkarya untuk bangsa di dunia pendidikan kita.

    ReplyDelete

Post a Comment

Berita Populer

MEWASPADAI DISFUNGSIONAL PENDIDIKAN

MENGAKTIFKAN POLA PIKIR BERTUMBUH (GROWTH MINDSET) DI RUANG KELAS

Time is Life: Ujian Kearifan Dalam Memanfaatkan Waktu

INSPIRASI PEMBELAJARAN

NGAJI PENDIDIKAN KE SINGAPURA

REVITALISASI CLASSROOM ASSESSMENT SEBAGAI PERANCAH PEMBELAJARAN