ABSURDITAS KEADILAN DI RUANG PENGADILAN
AIR MATA KEADILAN:
KESAKSIAN TERAKHIR DARI RUANG SIDANG
Suasana duka menyelimuti ruang persidangan sesaat hakim membacakan putusan pada Bung Tomi: empat setengah tahun penjara. Para pengunjung sidang—para sahabat, kaum kerabat, termasuk istri Tomi sendiri, Lila—tersentak. Mereka tidak percaya apa yang barusan mereka dengar. Mereka tidak percaya ucapan hakim yang melafalkan putusan itu dengan nada datar, seolah tidak sedang memutuskan nasib seseorang, melainkan sekadar membacakan informasi cuaca. Lila menutup mulutnya, menahan jeritan. Matanya memerah. Beberapa yang hadir sontak berteriak, “Huuuuu!” sebuah reaksi emosional, sebagai tanda protes. Mereka tidak percaya keadilan dapat sekarut ini.
Sejenak, ruang sidang seperti melakonkan skrip novel Franz
Kafka—suram, absurd, dan sarat dengan tragedi senyap. Josef K, yang dipilih sebagai
tokoh protagonis utama dalam nove Kafka, The Trial, adalah seorang
pegawai bank yang tiba-tiba ditangkap tanpa mengetahui kesalahannya, dan
kemudian terseret dalam proses hukum yang tidak jelas, dan terkesan sangat
manupulatif.
Hari ini Tomi menghadapi realitas yang sama: dihukum bukan
karena kejahatan konkret, tetapi karena sistem telah menetapkannya sebagai
“yang bersalah” lebih dulu. Proses hukum hanyalah ritus formal dari keputusan
yang sudah lama dipancangkan. Maka putusan yang baru saja dibacakan adalah
sebuah agresi terhadap nurani. Nurani keadilan. Dan kini, keadilan itu telah
dilukai parah.
Setelah palu diketukkan, Tomi menghampiri istrinya, Lila. Ia
menatap mata perempuan yang selama ini menjadi separuh jiwanya, lalu memeluknya
erat. Tak satu pun air mata jatuh saat ia memeluk Lila semakin erat. Ia
tahu, jika ia menangis, tangis itu akan mengguncang jiwa Lila yang sedang
mencoba bertahan. Ia membiarkan kesedihan mengumpal dalam dadanya. Ia
tahu, kesedihan istrinya jauh lebih tak tertahankan. Tapi ketika Tomi berpindah
kepada sahabatnya, Aris—sahabat yang bersamanya dalam idealisme, yang tahu
semua perjuangannya, yang tahu persis dia bukan penjahat—Tomi tak kuasa lagi.
Ia menunduk, dan air matanya menyeruak begitu saja.
“Aris...,” bisiknya, nyaris tak terdengar sambil tetap memeluk
sahabatnya itu, “kalau kebenaran hari ini dikalahkan, maka mungkin tugas kita
bukan meratapinya—tapi memastikan ia tak mati sia-sia."
Tomi bukan hanya sedang dihukum, tapi ia sedang
dikorbankan oleh sistem. Ia menghadapi ancaman penjara bukan karena
hukumnya tidak adil, tapi karena ada kebencian yang mengincarnya sejak awal.
Tangisnya bukan duka karena akan kehilangan kebebasan selama empat setengah
tahun. Itu adalah tangis getir, air mata yang pecah karena menyaksikan hukum
yang rusak, dilucuti oleh tangan-tangan yang khianat.
Mereka yang hadir tahu, Tomi tidak kalah. Justru mereka yang
menghukumnya telah mengalahkan diri mereka sendiri—menggadaikan nuraninya. Mereka
berani mempertaruhkan keadilan dengan kepentingan, memenjarakan suara kebenaran,
dan membungkamnya hingga rintihnya pun sudah tak terdengar.
Di tengah semua itu, dari sudut yang paling sunyi, menggema
suara ayat-ayat suci yang hanya terdengar oleh batin mereka yang masih
menyisakan rasa takut kepada Tuhan:
Ayat tersebut bukan hanya pesan keadilan tapi sebuah adagium
etis yang mendalam dan melampaui batas-batas keadilan hukum. Ia adalah
fondasi universal bagi setiap sistem keadilan yang mengklaim beradab, sebuah
perintah Ilahi untuk menegakkan keadilan bahkan di tengah pusaran emosi yang
paling memanas sekalipun.
Tomi—dengan segala luka dan ketegarannya—telah menunjukkan
pada dunia: bahwa di tengah kerusakan, masih ada jiwa-jiwa yang tidak patah. Ia
terancam dipenjara secara fisik, tetapi mereka yang menjatuhkan hukuman atas
nama kebencian dan manipulasi, sebenarnya telah memenjarakan batin mereka
sendiri dalam kegelapan moral yang lebih pekat.
Maka sebelum Tomi melangkah meninggalkan sidang menuju mobil
tahanan, ia menatap isterinya sekali lagi. Menatap cinta yang telah dirawatnya puluhan
tahun dengan sungguh=sungguh dan telaten. Setelah itu, Tomi melangkah tegar
keluar dari ruang sidang itu—diiringi istri dan sahabat yang masih menggenggam
harapan. Langit sore seperti ikut mengabarkan sesuatu: bahwa kebenaran bisa
dipukul, tapi tidak bisa dikubur. Bahwa hukum bisa dilengkungkan oleh
tangan-tangan busuk, tapi sejarah tidak akan diam.
Dan Tuhan, selamanya menjadi Hakim yang paling Adil. Maha
Adil.
Wallahu A’lam
Depok, Ahad Dini Hari
19 Juli 2025
Mansur Arsyad
Comments
Post a Comment