ESENSI KURBAN
KURBAN: SEBUAH TAFSIR REFLEKTIF
Oleh: Mansur Arsyad
======================================================================
Berkurban tidak berhenti pada proses penyembelihan. Ia hanya perjalanan awal untuk tiba pada pesan esensial tentang melepaskan. Tentang detachment—pelepasan dari segala bentuk keterikatan yang menjebak manusia dalam ilusi kepemilikan.
Ketika Nabi Ibrahim bersedia mengorbankan Ismail, itu bukan ekpresi kekerasan, atau agresi sadis terhadap kemanusiaan, terhadap anak semata wayang yang sangat dicintainya. Itulah ujian ketundukan tertinggi, sekaligus pembebasan. Membebaskan diri dari cinta yang membelenggu. Sebuah transendensi. Bahwa yang paling kita cintai pun, jika sudah menjadi tabir antara kita dan kebenaran Tertinggi, harus kita lepaskan. Bukan karena kita membencinya, tapi justru karena kita mencintai dengan sadar.
Pada domain sosial, kurban adalah kritik diam terhadap kerakusan. Di dunia yang dibangun di atas akumulasi dan kepemilikan, membagi daging kurban adalah tindakan simbolik melawan hasrat menimbun. Detachment, dalam konteks ini, bukan sekadar spiritualitas vertikal, tapi juga etika sosial horisontal—pengakuan bahwa keseimbangan tidak tercipta dari siapa yang memiliki paling banyak, tapi dari siapa yang bersedia berbagi. Bukan siapa yang paling berkuasa tapi siapa yang lebih peduli dan mengasihi.
Kurban bukan tentang hewan yang mati, tapi tentang sisi manusia yang harus ditundukkan—keakuan, ketamakan, dan ketakutan kehilangan. Menyembelih bukan sekadar ritual, tapi latihan eksistensial: sanggupkah kita hidup tanpa dikendalikan oleh apa yang kita genggam?
Dan pada puncaknya, hewan yang disembelih bukanlah sekadar binatang kurban. Ia adalah simbol dari sisi paling purba dalam diri manusia—naluri hewani yang ingin menguasai, ingin menimbun, mencengkeram, merasa puas karena kepemilikan yang berlimpah.
Ketika leher hewan itu disentuh pisau, sesungguhnya kita tengah menyentuh sisi gelap dalam jiwa kita sendiri: sisi yang harus ditanggalkan agar kita tidak lagi hidup sebagai makhluk yang dikendalikan oleh kegelisahan, ketakutan dan keserakahan.
Kita menyembelih sebagai tanda bahwa kita tidak sama dengan yang disembelih. Kita memang diciptakan tidak untuk sejajar dengan apapun yang pantas untuk disembelih. “Laqad khalaqnal-insâna fî ahsani taqwîm”—sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Namun jika kita tidak mampu melepaskan diri dari cengkeraman ego dan nafsu rendah, maka kejatuhan kita bisa lebih hina dari makhluk yang kita sembelih. “Thumma radadnâhu asfala sâfilîn”—lalu Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya.
Berkurban, adalah penyataan sunyi bahwa kita ingin menjadi manusia yang utuh—yang memilih kesadaran di atas naluri kemanusiaan yang paling bening, keikhlasan di atas penguasaan.
Berkurban, dengan demikian, adalah perjalanan ke dalam diri. Sebuah praktik spiritual untuk meninggalkan diri yang lama, agar lahir manusia baru yang lebih ringan, lebih jernih, dan lebih merdeka.
SELAMAT HARI RAYA IEDUL ADHA 1446 H
Depok, 10 Dzulhijjah 1446 H
Mansur Arsyad
Comments
Post a Comment