ESAI TENTANG MORALITAS

 

CERMIN DIRI: SEBUAH TAFSIR MORALITAS

Oleh; Mansur Arsyad

Pada suatu akhir malam yang hening, seorang anak  bangun lebih awal dari orang-orang di sekitarnya. Ia memandang sekelilingnya dengan sedikit rasa bangga. Ia berkata kepada ayahnya bahwa orang-orang itu, yang masih lelap tertidur, seolah mati—tak satu pun yang bangun untuk menyembah Tuhannya. Tapi sang ayah, dengan penuh kearifan, membalas, “Wahai putraku, lebih baik kau juga tidur daripada menggunjing orang lain.”


Esai ini bukan tentang tidur atau terjaga secara harfiah. Ini tentang kecenderungan manusia yang, ketika merasa telah mencapai kesadaran spiritual tertentu, tergoda untuk menilai orang lain. Ini bentuk godaan paling halus dalam dunia keagamaan: merasa lebih baik karena merasa lebih tahu, merasa lebih shaleh, merasa lebih dekat dengan Tuhan.


Abdullah ibn Mubarak, seorang ulama yang terkenal kezuhudan dan kesederhanaannya meski memiliki kekayaan, pernah berkata, “Mungkin orang yang kamu remehkan lebih dicintai Allah daripada dirimu yang menganggapnya hina.” Kutipan ini seperti palu kecil yang mengetuk kesadaran kita—bahwa tidak ada satu pun makhluk yang berhak mengklaim posisi tertinggi di hadapan Tuhan. Setiap jiwa punya jalannya sendiri, pergumulannya sendiri. Dan, kehendak Ilahi bekerja dalam cara-cara yang tak selalu bisa kita pahami. Kutipan itu juga mengajarkan bahwa spiritualitas sejati tidak menyisakan ruang untuk menghakimi, apalagi menyombongkan diri. Cinta yang tulus kepada Tuhan tak membutuhkan penonton. Ia cukup hadir dalam keheningan, dalam pengakuan bahwa kita pun belum utuh. Bahkan bisa jadi kita harus lebih banyak berbenah diri.

Dalam konteks psikologis, perasaan superioritas moral sering kali lahir dari kebutuhan akan validasi diri. Rasa “lebih baik dari yang lain”. Rasa yang berkekurangan jika tidak mendapatkan pujian. Ini semacam superioritas yang menjebak. Ketika seseorang memandang rendah orang lain atas nama kebenaran, sebenarnya ia sedang berusaha menguatkan rasa identitasnya sendiri. Namun hal ini justru menghambat pertumbuhan spiritualnya, karena mengalihkan perhatian dari pembenahan diri ke penilaian atas orang lain. Dalam hal ini, luka batin sering menjelma menjadi amarah berjubah dakwah.

Secara sosial keagamaan, kita hidup dalam zaman di mana unjuk kesalehan mudah dipamerkan—baik lewat status digital maupun perilaku yang penuh simbolisme. Tapi seperti dikatakan oleh Imam al-Ghazali, “Jangan tertipu oleh orang yang berilmu, sebab bisa jadi ilmunya justru menjadi hijab antara ia dan Tuhannya.” Kita terlalu sibuk mengklasifikasi siapa yang ‘terjaga’ dan siapa yang ‘tertidur’, hingga lupa bahwa Tuhan lebih dekat kepada hati yang tersembunyi dalam kerendahan, bukan kepada lisan yang gemar menuding dan menilai. Keagamaan yang otentik tidak sibuk memperlihatkan dirinya. Ia bekerja dalam diam, menata batin, memperhalus akhlak.

Kisah seorang anak dan ayahnya ini adalah pelajaran lintas zaman: bahwa penghakiman moral tidak lahir dari kesalehan. Tidak ada orang mulia yang menghina. Celaan tidak pernah keluar dari lisan yang arif. Jika kita sungguh-sungguh dekat kepada Tuhan, maka yang tumbuh adalah welas asih, bukan arogansi; yang menguat adalah empati, bukan tudingan atas dasar apapun. Dan ketika empati itu hadir, kita tak lagi merasa lebih suci, tapi lebih bertanggung jawab untuk “menjadi manusia”. 

Keagamaan yang otentik tidak sibuk memperlihatkan dirinya. Ia tak butuh panggung. Apalagi pengakuan. Maka illustrasi singkat ini menjadi cermin bagi kita: bahwa lebih baik diam dengan segenap kerendahan hati, daripada menjadi pengkhutbah yang mencederai. Karena mungkin, dalam kesenyapan yang jujur itulah Tuhan lebih dekat, daripada dalam kata-kata yang dipenuhi hasrat untuk merasa paling benar.


Wallahu A'lam Bissawab

Comments

Berita Populer

ARGUMENTUM AD HOMINEM

REFORMASI BIROKRASI: STRUKTURAL VERSUS KULTURAL

MENAKAR USULAN PERPANJANGAN USIA PENSIUN PNS

SEBUAH ESAI REFLEKTIF

ESENSI KURBAN