TAHUN BARU HIJRIYAH: SEBUAH JEDAH DALAM KEBISINGAN MODERNITAS

Oleh Mansur Arsyad

Tahun baru dalam kalender Hijriyah tidak datang dengan gemuruh, tiada pesta kembang api, dan tak ada hitung mundur waktu yang membelah kesunyiam malam. Ia tiba dalam senyap. Seakan cahaya lembut yang menyelinap diantara gemintang. Nyaris tidak disadari. Sebagian orang bahkan abai dengannya. Tapi ia membawa pesan: bahwa tidak semua permulaan harus diumbar dengan gegap gempita.

Hari ini, 1 Muharram 1447 Hijriyah, bukan sekadar pergantian kalender, tetapi sebuah panggilan spiritual untuk melihat ulang arah perjalanan—baik sebagai pribadi, umat, maupun peradaban.

Hijrah, yang menjadi penanda awal kalender Islam, bukan semata peristiwa geografis Nabi meninggalkan Mekah menuju Madinah. Ia adalah narasi eksistensial yang hidup dalam hati setiap menusia yang berserah diri. Perpindahan dari kegelapan menuju terang, dari keterikatan menuju kebebasan, dari tekanan menuju pengharapan. Dalam makna inilah kita mengenang 1 Muharram bukan sebagai selebrasi, tetapi sebagai pengingat transendental—untuk menjawab pertanyaan yang paling esensial: ke mana arah perjalanan kita sebenarnya?

Hijrah sebagai Jalan Peradaban

Hijrah, dalam tradisi Islam, bukan bentuk pelarian. Mutlak bukan isyarat menyerah. Ia adalah keberanian untuk meninggalkan yang lama demi menjemput yang lebih bermakna. Keberanian untuk meninggalkan das Man dalam isitilah Heidegger— kehidupan yang terlarut dalam kerumunan menuju eksistensi yang autentik. Nabi dan para sahabat meninggalkan segalanya: rumah, harta, kota kelahiran, bahkan kenangan—demi cita-cita yang lebih besar. Tidak ada yang mudah dalam perpindahan semacam itu. Tapi sejarah peradaban tak pernah ditulis oleh mereka yang berdiam dalam kenyamanan.

Hari ini, perpindahan fisik semakin samar. Kita bahkan mampu melewati seribu kota dalam setahun.  Namun, apakah itu senyampan dengan pergerakan batin kita?  Padahal gerak itu kita perlukan: dari keraguan menuju keyakinan, dari kekacauan nalar menuju keteraturan akal budi, keluar dari  selubung kepura-puraan untuk mempersaksikan diri tanpa topeng. Hijrah pada dasarnya adalah gerakan yang mengintegrasikan dimensi spiritual (teoria) dengan tindakan konkret (praktika). Para Muhajirin tidak hanya berpindah secara geografis, tetapi juga membangun tatanan sosial baru, masyarakat madaniah di Madinah dengan prinsip-prinsip transendental kokoh. Inilah hijrah-hijrah esensial yang seringkali luput dari catatan, dan nyaris tenggelam dalam narasi modernitas.

Tahun baru Islam, dalam kesederhanaannya, seolah mengingatkan: jika tidak berubah, untuk apa berganti tahun?

Hijrah Maknawi dalam Gema Modenitas

Dalam dunia yang dikejar oleh ambisi, 1 Hijriyah mengajak kita menepi sejenak. Menoleh ke belakang bukan untuk menghadirkan sesal. Sekedar untuk memahami dan mengukur perjalanan batin. Semacam upaya memadankan jarak usia yang telah dilewati dengan ikhtiar penghambaan yang telah kita perjuangkan. Tentu saja sambil memurnikan niat. Itulah amanah langit yang mesti ditunaikan.

Sejak Umar bin Khattab menetapkan hijrah sebagai awal kalender umat Islam, 1 Muharram tidak pernah dimaksudkan sekadar sebagai angka. Apalagi untuk momentum selebrasi. Ia adalah penanda bahwa sejarah Islam tidak dimulai dari kemenangan, melainkan dari pengorbanan. Bahwa perjalanan kita sebagai umat adalah perjalanan yang berat, dan karena itu patut dimuliakan bukan dengan hura-hura, tetapi dengan kepatuhan.

Gema modernitas telah mengikis dimensi sakral dari pengalaman manusia. Stimulasi artifisial, yang menyeret manusia ke dalam gaya hidup hedonis yang semakin mekanis telah mencerminkan upaya sia-sia untuk mencapai wujud kemanusiaan yang kaffah. Maka, 1 Muharram menawarkan bentuk temporalitas yang berbeda—apa yang Emmanuel Levinas sebut sebagai "waktu yang tidak dapat diubah menjadi ruang." Waktu yang tidak dapat direduksi menjadi sekadar perhitungan, tetapi membawa panggilan etis untuk bertanggung jawab. Dan, panggilan etis itulah yang menjadi antiseden untuk melahirkan  pribadi yang jujur dan tidak korup.

Tahun Baru sebagai Langkah Pulang

Setiap tahun baru adalah langkah untuk kembali. Pulang ke dalam diri. Barangkali selama ini kita telah terlalu jauh berjalan mengikuti hiruk-pikuk dunia, mengejar pencapaian yang tak kunjung membuat kita utuh. Maka 1 Muharram adalah momen untuk kembali—menata ulang prioritas, mengendapkan hasrat, menguatkan kesadaran transendental dan meneguhkan arah.

Konsep "kembali" ini bergema dengan tema nostos (“pulang/kembali ke rumah”) dalam tradisi Yunani—perjalanan pulang yang tidak sekadar geografis, tetapi spiritual. Dalam konteks spiritual Islam, ini adalah gerakan ruju' (kembali) kepada Allah sebagai asal (asl) dan tujuan (ghayah) segala eksistensi.

Dalam masyarakat modern yang kian kehilangan jeda, momentum hijrah adalah kemewahan. Kita perlu ruang untuk merenung, bukan hanya ruang untuk menimbun rencana. Kita perlu kembali mengajukan pertanyaan sederhana: masihkah hati ini menuju Allah, atau telah teralihkan oleh dunia yang semakin memabukkan?

Melangkah dengan Kesadaran Baru

1 Muharram 1447 H telah tiba. Tidak ada yang berubah dalam penampakan semesta: langit tetap sama, matahari masih terbit dari timur. Tapi apa yang terjadi dalam batin kita adalah penentu segalanya. Apakah kita ingin melewati hari ini sebagaimana sebelumnya, atau sebagai titik balik yang melahirkan diri baru yang lebih jernih, lebih lapang, lebih terarah?

Hijrah, bisa jadi adalah keberanian untuk tetap tinggal, tetapi menjadi manusia yang berbeda—yang lebih ikhlas, lebih jujur, lebih sabar, lebih pemurah, lebih peduli dan lebih berani. Hijrah, pada tingkat yang paling fundamental, adalah perubahan dalam struktur intensionalitas kesadaran—dari kesadaran yang terpaku pada yang fana bergeser atau terhubung kepada kesadaran yang terarah pada yang kekal.

Perpindahan yang paling berat sesungguhnya bukanlah sejenis translasi fisik, tetapi mengubah cara pandang dan daya pikir, berpindah dari diri yang lama menuju diri yang lebih bertakwa.

SELAMAT TAHUN BARU ISLAM 1 MUHARRAM 1447 HIJRIAH.

Depok, 27 Juni 2025.


Comments

Berita Populer

ARGUMENTUM AD HOMINEM

REFORMASI BIROKRASI: STRUKTURAL VERSUS KULTURAL

MENAKAR USULAN PERPANJANGAN USIA PENSIUN PNS

ESAI TENTANG MORALITAS

ESENSI KURBAN

SEBUAH ESAI REFLEKTIF