MENAKAR USULAN PERPANJANGAN USIA PENSIUN PNS
MENAKAR USULAN PERPANJANGAN USIA PENSIUN PNS
Mansur Arsyad
Usulan dari Badan Kepegawaian Negara (BKN) terkait perpanjangan usia pensiun bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) memunculkan beragam tanggapan. Dalam rancangan kebijakan yang diusulkan, batas usia pensiun bagi pejabat eselon III dan IV yang sebelumnya ditetapkan 58 tahun, diusulkan menjadi 60 tahun. Untuk Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama, usia pensiun dinaikkan menjadi 62 tahun, sementara untuk Pejabat Pimpinan Tinggi Madya diusulkan menjadi 65 tahun. Hal serupa juga diterapkan pada jabatan fungsional. Untuk jenjang pertama dan muda, usia pensiun diusulkan naik dari 58 menjadi 60 tahun. Jenjang madya diusulkan dari 60 menjadi 65 tahun, sedangkan untuk jenjang utama, dari 65 menjadi 70 tahun. Meskipun kebijakan ini tampak menjanjikan dari sisi efisiensi pengalaman dan akumulasi keahlian, ia juga memunculkan ruang perdebatan serius mengenai regenerasi, kesehatan kerja, serta kesiapan birokrasi dalam merespons dinamika dan tuntutan zaman yang terus berubah.
Menjaga
Pengetahuan Institusional dan Stabilitas Administrasi
Dari
sudut pandang manajemen pengetahuan, gagasan ini memiliki rasionalitas yang
kuat. Dalam kerangka organisasi publik, khususnya birokrasi, keberlanjutan
kinerja institusi sangat bergantung pada pengetahuan institusional—yakni
akumulasi pengalaman, keterampilan, dan jejaring sosial yang tidak tertulis
dalam dokumen, tetapi mengakar dalam praktik dan ingatan kolektif para
pegawainya. Pegawai senior, dalam konteks ini, berperan sebagai penjaga memori
kelembagaan dan penafsir kebijakan berbasis konteks.
Secara
teoritik, perpanjangan masa kerja juga memungkinkan optimalisasi investasi
negara dalam pelatihan dan pengembangan sumber daya manusia. Biaya rekrutmen,
orientasi, dan pembinaan pegawai baru tidaklah kecil. Dengan mempertahankan PNS
berpengalaman lebih lama, pemerintah dapat menghemat anggaran serta menjaga
stabilitas transisi dalam jabatan strategis.
Regenerasi,
Dinamika Organisasi, dan Kesehatan Kerja
Akan
tetapi tidak dapat dipungkiri, bahwa rencana kebijakan ini tidak lepas dari
kritik karena mengandung implikasi struktural dan sosiologis yang tidak bisa
diabaikan. Salah satu kritik utama adalah potensi stagnasi regenerasi. Generasi
muda dengan kapasitas adaptif tinggi, penguasaan teknologi digital, serta
pemikiran yang lebih progresif, bisa tertahan di lapisan bawah birokrasi. Ini
menimbulkan pertanyaan mendasar: sejauh mana birokrasi Indonesia mampu
mengelola keseimbangan antara pelestarian nilai lama dan pembaruan gagasan? Meskipun
tidak menjadi takaran absolut bahwa yang muda selalui lebih gesit dalam
teknologi disbandingkan dengan yang senior. Demikian pula, yang senior tidak mutlak
lebih fasih dalam pengetahuan institusional daripada kaum muda.
Namun,
kesiapan biologis dan psikologis pegawai berusia lanjut tetap saja menjadi
pertimbangan penting dalam diskursus ini. Dalam lingkungan birokrasi yang
semakin dinamis—dengan tuntutan kecepatan, responsivitas, serta kemampuan
bekerja secara kolaboratif dan lintas disiplin—dimensi kebugaran fisik dan daya
adaptasi mental tidak dapat diabaikan. Oleh karena itu, kebijakan perpanjangan
masa kerja seharusnya tidak bersifat otomatis atau seragam, melainkan harus
melalui mekanisme yang dapat memastikan kelayakan fisiologis dan kapasitas
aktual pegawai, khususnya bagi mereka yang diusulkan untuk memperpanjang masa
jabatan hingga usia 70 tahun.
Dalam
konteks ini, kesiapan biologis harus ditempatkan sebagai variabel utama yang
diperiksa secara objektif, bukan sekadar asumsi administratif. Sebagai contoh,
pegawai yang akan naik ke jenjang jabatan fungsional utama idealnya melalui
proses seleksi yang ketat, berbasis pada asesmen menyeluruh terhadap kinerja,
kompetensi, serta kondisi fisik dan psikologisnya. Secara empiris, angka
harapan hidup dan usia produktif masyarakat Indonesia memang menunjukkan tren
peningkatan. Namun demikian, data tersebut harus dibaca secara cermat dan tidak
disimplifikasi, sebab produktivitas individual tetap sangat bergantung pada
konteks kerja, bidang tugas, karakteristik pekerjaan dan tuntutan jabatan yang
diemban.
Tantangan
Mendasar: Disharmoni Tugas dan Jabatan Fungsional
Permasalahan
yang lebih krusial dalam manajemen birokrasi sipil Indonesia saat ini bukan
hanya terletak pada usia pensiun, melainkan pada tatakelola kinerja, sistem
promosi dan penghargaan. Pada domain
jabatan fungsional misalnya, ada ketimpangan antara struktur jabatan fungsional
yang bersifat normatif dengan realitas tugas yang dijalankan secara faktual.
Secara konseptual, jenjang jabatan—mulai dari fungsional pertama, muda, madya,
hingga utama—semestinya merepresentasikan gradasi kewenangan, tingkat kedalaman
analisis, serta kompleksitas tanggung jawab yang berbeda. Idealnya, semakin
tinggi jenjang, semakin besar pula ruang diskresi, peran strategis, dan
kontribusi terhadap pengambilan keputusan kebijakan.
Namun,
yang terjadi di lapangan sering kali justru sebaliknya. Tidak ada diferensiasi
yang nyata antara tugas yang dikerjakan oleh pejabat fungsional jenjang pertama,
jenjang muda dan mereka yang berada di level madya atau bahkan utama. Jenis
pekerjaan yang dilakukan seragam, ruang lingkupnya tumpang tindih, dan tanggung
jawabnya nyaris identik. Hal ini menunjukkan adanya disfungsi dalam penataan
jabatan fungsional, di mana jenjang jabatan tidak diiringi oleh diferensiasi
peran substantif. Situasi ini bukan hanya melemahkan logika sistem merit,
tetapi juga mereduksi insentif untuk peningkatan kapasitas dan profesionalisme
secara bertahap.
Jika
dibiarkan, kondisi semacam ini akan menciptakan stagnasi dalam birokrasi.
Pejabat fungsional akan kehilangan dampak motivasional karena tidak ada
distingsi kerja yang bermakna, sementara organisasi pun kehilangan ketajaman
dalam membagi peran strategis, teknis, dan operasional secara proporsional.
Dalam etika manajemen birokrasi yang sehat, jenjang jabatan bukan sekadar
urusan administratif, melainkan instrumen untuk mendistribusikan tanggung jawab
dan membedakan bobot intelektual serta konsekuensi kebijakan dari setiap
posisi.
Karena
itu, reformasi ASN ke depan harus lebih dari sekadar penyempurnaan regulasi.
Diperlukan penataan ulang yang sistemik agar jabatan fungsional benar-benar
mencerminkan hirarki tanggung jawab, bukan sekadar level formal. Dalam konteks
ini, sistem merit tidak boleh hanya menjadi jargon, tetapi harus mewujud
sebagai mekanisme objektif yang memfasilitasi diferensiasi peran, promosi
berbasis kinerja, dan kejelasan relasi kerja yang adil serta fungsional.
Jalan Tengah: Fleksibilitas Berbasis
Kompetensi dan Peran Transisional
Kebijakan yang ideal dalam menghadapi isu usia pensiun tidak
sepenuhnya terletak pada perpanjangan secara menyeluruh dan seragam, melainkan
pada penerapan model yang lebih fleksibel dan berbasis kompetensi. Pendekatan
ini membuka ruang bagi penerapan usia pensiun diferensial, yang
mempertimbangkan kebutuhan organisasi, sifat jabatan, serta kapasitas
individual. Perpanjangan masa kerja dapat diberlakukan secara selektif bagi
posisi-posisi strategis yang membutuhkan kontinuitas, kedalaman pengalaman, dan
stabilitas kelembagaan—dengan syarat individu tersebut memenuhi standar integritas,
kompetensi, dan kesehatan yang dapat diverifikasi secara objektif.
Lebih jauh, pemerintah dapat merancang skema transisi peran bagi
pegawai senior yang mendekati atau melampaui usia pensiun. Peran-peran baru
seperti mentor, pengembang kapasitas SDM, atau “penasihat strategis” dapat
menjadi wahana untuk mentransfer pengetahuan institusional tanpa membebani
dinamika organisasi yang menuntut kecepatan dan fleksibilitas tinggi. Skema
semacam ini bukan hanya menjaga kesinambungan kelembagaan, tetapi juga
memperkuat ekosistem pembelajaran dalam birokrasi.
Paradigma
Baru: Usia, Kontribusi, dan Transformasi Birokrasi
Usulan perpanjangan usia pensiun seharusnya memang tidak direduksi
semata-mata pada aspek demografis, melainkan dilihat sebagai cerminan dari
paradigma baru dalam tata kelola sumber daya aparatur. Hal ini menyentuh isu
yang lebih mendasar: bagaimana menyeimbangkan antara akumulasi pengalaman dan
kebutuhan regenerasi dalam sebuah institusi yang sedang bergerak menuju
birokrasi modern.
Dalam kerangka itu, pengalaman dan kedewasaan birokrat senior
tidak dapat disangkal merupakan aset institusional yang berharga. Namun,
pembaruan dan masuknya generasi baru juga merupakan prasyarat agar birokrasi
tetap hidup, kontekstual, dan berorientasi pada masa depan. Oleh karena itu,
kebijakan usia pensiun sepatutnya dirancang untuk tidak sekadar mempertahankan
status quo, tetapi menghidupkan mekanisme yang menjamin keberlanjutan sekaligus
pembaruan.
Dengan menegakkan prinsip meritokrasi secara konsisten dan
menjalankan Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2017 yang kemudian diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 17 Tahun 2020 sebagai rujukan normatif yang operasional,
kebijakan usia pensiun dapat diarahkan untuk memperkuat sistem birokrasi. Bukan
sebagai penghambat regenerasi, melainkan sebagai bagian dari strategi manajemen
talenta nasional.
Penutup
Reformasi birokrasi yang berkelanjutan mensyaratkan kebijakan yang tidak kaku,
melainkan adaptif terhadap tantangan zaman dan dinamis dalam menjawab kebutuhan
kelembagaan. Di sinilah pendekatan yang utuh, seimbang, dan proporsional
menjadi fondasi untuk menciptakan birokrasi yang bukan hanya efisien, tetapi
juga resilien, transformatif, dan manusiawi.
Pada Prakteknya 90% Tidak ada diferensiasi yang nyata antara tugas yang dikerjakan oleh pejabat fungsional jenjang pertama, jenjang muda dan mereka yang berada di level madya atau bahkan utama. Jenis pekerjaan yang dilakukan seragam, ruang lingkupnya tumpang tindih, dan tanggung jawabnya nyaris identik.
ReplyDeleteSelain itu, sistem jabatan dibedakan antara fungsional dan struktural. dimana Struktural karena adanya kewenangan dan pengambilan keputusan sedangkan Jabatan Fungsional lebih terhadap tugas pekerjaa sehari2, sehingga menurut sy JF Pertama s.d Utama itu adalah jenjang penghargaan karena pengabdian. dimana Pejabat struktural bertugas memastikan program pembinaan SDM dan Kompetensi terus dilakukan sebagai konsekuensi kenaikan jenjang.
Sy cenderung berpendapat tidak tepat jika bonus jabatan (fungsional s.d. utama) mencakup kedalam usia kerja yang maksimal (70th) dan lebih bijak disamakan. jadi Pjb Fungsional Ahli pertama jika pensiun pada umur 60th maka Pjb Fungsional Ahli Utama juga pensiun pada umur 60th. hal ini utk keadilan dan realitas pekerjaan.