INSPIRASI PEMBELAJARAN

 

 

              

         INSPIRASI PEMBELAJARAN

          Penulis: Mansur Arsyad

“The intelligence is proved not by ease of learning but by  understanding what we learn” (Joseph Whitney)

Di balik setiap produk yang hebat, ada seseorang di balik layar yang bekerja tanpa mengenal lelah, penuh dengan ide-ide segar dan gagasan kreatif, meski pengguna produk itu sendiri tidak pernah mengenal mereka. Dalam ranah pendidikan, premis itu pun berlaku. Meskipun produk pendidikan bukanlah hasil olahan instan yang dapat ditakar hasilnya seketika namun proses-proses pendidikan justru dapat dirasakan secara langsung oleh pesert didik. Proses-proses pendidikan dalam bentuk pembelajaran, bimbingan, pendampingan, pembiasaan, keteladanan dan seterusnya secara kumulatif dan kualitatif adalah proses-proses dalam membangun fondasi peradaban bangsa. Sehingga bentuk nyata yang berjangka panjang dari proses-proses pendidikan adalah tegaknya sebuah peradaban. Dan di balik semua itu, di belakang layar peradaban itu, ada guru yang perannya sangat menentukan meskipun eksistensinya kadang terabaikan.

Revitalisasi Peran Guru

Perkembangan eksponensial teknologi berimplikasi secara fundamental terhadap pendidikan dan pembelajaran khususnya. Teknologi pada akhirnya ikut menentukan bagaimana pembelajaran itu terjadi baik secara klasikal maupun pembelajaran yang dipersonalisasikan (personalized learning). Implikasi berikutnya adalah bagaimana peran guru dalam situasi yang demikian. Namun terlepas dari bagaimana kita mendefinisikan ulang peran guru dalam konteks tersebut, yang menarik bahwa ada karakteristik dari keprofesian guru yang bersifat permanen meskipun aplikasinya pada pembelajaran bersifat adaptif sesuai dengan Zeitgeist (semangat zaman). Hal itu dapat ditelusuri dari berbagai hasil penelitian termasuk penelitian yang dilakukan oleh Arthur Combs, seorang psikolog, pendidik dan peneliti terkemuka pada paruh kedua abad ke-20. Penelitian lawas yang dikutip dan dinarasikan ulang secara menarik oleh Hansen (2019) mengungkap betapa sistem kepercayaan guru memberikan pengaruh pada pertumbuhan dan pembelajaran secara personal bagi peserta didik.

Hasil penelitian dimaksud menyebut ada lima karakteristik yang menjadi ciri guru yang baik atau guru efektif yaitu: 1) Empathic qualities (kualitas empati), 2) Positive self-concept (konsep diri yang positif), 3) Beliefs about other people (memiliki pandangan positif terhadap orang lain), 4) Open (memilki pandangan yang luas dan terbuka), dan 5) Authenticity (pengungkapan diri dengan ketulusan).

Jelas, hasil penelitian tersebut menarik karena ternyata kelima ciri yang diungkap di atas lebih terkait pada kompetensi interpersonal atau sosial dan kompetensi intrapersonal atau kemampuan reflektif dan introspektif. Sejalan dengan itu, hasil penelitian lainnya mengonfirmasi bahwa siswa paling mengingat atau menaruh kesan kuat pada guru yang mereka anggap peduli terhadap mereka. Secara faktual, mestinya memang dapat disepakati bahwa kepedulian (caring) merupakan elemen vital bagi seseorang, apapun profesinya. Dan bagi guru, kepedulian adalah semacam indera pedagogik keenam yang menjadi kontrol internal sekaligus sebagai obligasi moral yang melekat pada profesinya.

Demikian halnya konsep diri yang positif.  Bagi guru, itu mutlak diperlukan. Bukan hanya cara pandang positif terhadap dirinya tapi juga cara pandang yang positif terhadap profesinya. Cara pandang positif ini dimulai dari rasa cinta terhadap pekerjaan. Guru mutlak harus mencintai dan bangga terhadap profesinya. Perasaan cinta dan kebanggan itu menjadi fondasi yang mengokohkan seorang guru dalam menghadapi setiap konsekuensi dari pilihan profesinya, sebagai guru. Bahkan sejak awal ketika seseorang menetapkan pilihan pada profesi guru, dia benar-benar harus berangkat dari kesadaran bahwa pilihan profesi ini tidak mudah dan tidak menjanjikan keberlimpahan materi. Karenanya, diperlukan kesadaran intrinsik yang kuat, secara fisik dan mental bagi seorang guru untuk konsisten di jalur profesi ini sembari merawat keprofesiannya dalam situasi apapun. Dan untuk mewujudkan itu semua diperlukan kesungguhan, kegigihan dan  keuletan berlipat ganda.

Pembelajaran yang Otentik

Belajar adalah fungsi dasar yang melekat pada dimensi kemanusiaan seseorang. Tidak seorang pun yang tidak membutuhkan proses belajar. Dalam karyanya yang berjudul “Metaphysics”, Socrates mengetengahkan pandangannya bahwa semua manusia mendambakan pengetahuan. Islam bahkan menjadikan belajar (menuntut ilmu) sebagai salah satu kewajiban utama bagi muslim laki-laki maupun muslim perempuan. Dan Allah pun telah menetapkan salah satu fitrah pada diri manusia yaitu rasa ingin tahu atau keingintahuan (curiosity). Sifat itu terus bertumbuh seiring dengan perkembangan fungsi-fungsi fisiologis dan psikologis yang memungkinkan seseorang memenuhi tuntutan curiosity-nya atau kebutuhan belajarnya. Pertumbuhan itu kemudian menghasilkan potensi dan kapasitas belajar bagi seseorang setara dengan dukungan lingkungan belajar yang diterimanya.

Meskipun memang, ada perbedaan pandangan diantara para pakar tentang faktor yang paling dominan yang memengaruhi perkembangan dan kapasitas belajar seseorang. Yaitu, antara nature (bawaan) dengan nurture (pola asuh, stimulasi, lingkungan keluarga/sosial, dan lainnya). Namun tidak ada yang menapikan bahwa faktor nurture (pola asuh dan lingkungan sosial) memiliki sumbangsih yang besar dalam membangun profil belajar seseorang. Itu pun telah dibuktikan dengan berbagai hasil penelitian.

Piaget dan Vigotsky misalnya adalah dua tokoh termasyhur dalam teori perkembangan kognitif, memiliki perbedaan secara teoritis tentang nature dan nurture. Namun pemikiran keduanya bertaut pada satu kesepahaman bahwa aktivitas seorang anak merupakan titik pusat pendidikan. Lingkungan belajar yang di dalamnya mencakup aktivitas belajar menentukan retensi belajar anak. Aktivitas belajar yang dikonstruksi secara kreatif oleh guru memungkinkan anak mengalami proses-proses kognitif dari yang sederhana hingga kompleks. High Order Thinking Skills (HOTs) misalnya, sebagai salah satu icon pembelajaran kekinian, berkorelasi dengan kompleksitas stimulan pembelajaran yang diterima dan diproses oleh siswa dalam proses pembelajaran. Dan ini tekait erat dengan aktivitas balajar anak.

Resilence, Persistence dan Tenacity

Teknologi saat ini dapat memanjakan pengguna dalam beberapa hal termasuk untuk urusan pendidikan. Jika diposisikan secara tepat, teknologi dapat memberikan kemanfaatan yang luar biasa dalam mendukung efektivitas, efisiensi dan akselerasi pembelajaran. Namun demikian, teknologi tidak memilki fitur untuk memberikan garansi kepada orang yang malas untuk menjadi pintar. Maka selain faktor kognitif, ada 3 kualitas yang diperlukan dalam proses pembelajaran yaitu resilience (elasitisitas atau fleksibilitas dalam melalui kesulitan/tantangan), persistence (ketekunan), dan tenacity (kegigihan).

Resiliensi mencakup elastisitas, fleksibilitas dan adaptibilitas mental seseorang dalam menghadapi tantangan dan kesulitan. Bahwa pada dasarnya, tidak ada pembelajaran yang benar-benar menyenangkan. Pembelajaran yang diistilahkan menyenangkan (enjoyfull learning) pun tetap membutuhkan energi dan tantangan-tantangan pembelajaran yang terkadang tidak ringan. Proses pembelajaran adalah pergulatan mental yang memungkinkan anak-anak mengalami tekanan dan beban belajar yang berdampak secara emosional. Peluang sukses dan resiko “gagal” adalah dinamika pembelajaran. Ketika anak mampu menyesuaikan kapasitas belajar dengan tantangan pembelajaran yang diberikan, ini adalah sinyal sukses baginya. Namun anak pun kerap dihadapkan pada situasi belajar yang menyulitkan mereka mengaktualisasikan kemampuan terbaik dalam proses-proses kognitif yang dilalui yang pada akhirnya berujung pada kesulitan belajar bagi dirinya. Hal ini bisa dimaknai sebagai “kegagalan” bagi si anak.

Itulah mengapa kegigihan, keuletan dan resiliensi sangat diperlukan bagi seorang anak dalam proses pembelajaran. Kegigihan dan keuletan maupun resiliensi sering  digunakan secara bergantian karena perbedaannya sangat tipis namun semuanya merujuk pada kekuatan dan ketahanan mental seseorang untuk melewati kesulitan atau meraih keberhasilan. Ketika seorang anak melakukan upaya keras dalam belajar, meskipun belajar tidak benar-benar menyenangkan baginya maka itu dapat dilihat sebagai ketekunan. Demikian pula, upaya anak untuk tidak menyerah meskipun digoda oleh perasaan tidak menyenangkan maka itu dapat dimaknai sebagai kegigihan. Orang bijak berpesan bahwa semakin tinggi struktur yang Anda kehendaki, semakin dalam fondasi yang harus Anda buat. Alhasil, kedalaman fondasi dan kekuatan struktur pengetahuan yang dibangun dalam proses pembelajaran sebagian besar ditentukan oleh kualitas Resilence, Persistence dan Tenacity.

 

 

 

References

Coures, George. The Innovaotor’s Mindset: Empower Learning, Unlesh Talent, and Lead a Culture of Creativity.  San Diego: Dave Burgess Consulting, Inc, 2015.

Hansen, C. Bobbi. The Heart and Science of Teaching: Transformative Application That Integrate Academic and Social-Emotional Learning. New York: Teachers College Press, 2019.

Comments

  1. Selalu menginspirasi tulisannya, terima kasih sudah berbagi

    ReplyDelete
  2. Tulisan otentik sbg bentuk evidence analisis yg memdalam dari deep th reading berdasarkan teori kompleks yg dirangkai dg apik shg menjadi tulisan epik yg mudah dibaca dan dicerna. Tq Pak Mansur

    ReplyDelete

Post a Comment

Berita Populer

MEWASPADAI DISFUNGSIONAL PENDIDIKAN

MENGAKTIFKAN POLA PIKIR BERTUMBUH (GROWTH MINDSET) DI RUANG KELAS

Time is Life: Ujian Kearifan Dalam Memanfaatkan Waktu

MERESPON POST TRUTH ERA

NGAJI PENDIDIKAN KE SINGAPURA

REVITALISASI CLASSROOM ASSESSMENT SEBAGAI PERANCAH PEMBELAJARAN