Time is Life: Ujian Kearifan Dalam Memanfaatkan Waktu

 


SEMENIT ITU MAHAL

(Refleksi Untuk Diriku dan Anak-Anakku)

Penulis: Mansur Arsyad

Orang Barat mengungkapkan secara metaforik untuk menggambarkan betapa pentingnya soal waktu dengan kalimat “time is money”. Ungkapan itu kemudian sering dikutip ketika orang berbicara tentang waktu. Namun sesungguhnya ungkapan yang lebih tepat adalah time is life atau time is life itself. Waktu adalah kehidupan itu sendiri. Orang yang kehilangan uang masih memiliki peluang untuk mencari gantinya. Namun, orang yang kehilangan waktu persis sama dengan kehilangan kehidupannya. Tidak ada cara apapun untuk menggantikan waktu yang telah terbuang. Kehidupan sirna begitu saja sebanyak waktu yang terlalaikan.

Waktu adalah entitas alam yang terhubung dengan setiap sesuatu yang hidup, tanpa kecuali. Waktu adalah urusan bagi si kaya dan si miskin, yang alim dan yang jahil, yang taat maupun yang pembangkang. Siapapun. Bahkan tidak memilih dan tidak pula memilah antara penguasa dan rakyat jelata. Semuanya bertaruh dengan waktu. Yang muda tidak punya alasan untuk menunggu hingga berumur untuk peduli pada soal waktu. Apalagi yang tua, tidak lagi punya alasan untuk menyia-nyiakan keberadaan sang waktu. Semuanya akan rugi kecuali yang benar-benar mengenalinya dan memanfaatkannya untuk kemanfaatan bagi dirinya, orang lain dan lingkungannya.

Memang bukan hal yang mudah karena setiap saat, kita digoda untuk memalingkan wajah dan hati dari sang waktu. Bahkan, dikarenakan amat halus dan tersamar, godaan itu terkadang sulit dikenali. Tiba-tiba kita sudah terbawa dalam pusaran kelalaian dan terus berada disitu bahkan semakin nyaman di dalamnya, semakin merasa tidak bersalah, dan kerugian pun semakin bertambah tanpa kita sadari. Demikianlah roda waktu itu berputar. Terus bergulir dan membiarkan kita terus menumpuk hari-hari dalam kelalaian dengan semua pembenaran yang mampu kita kumpulkan bersamanya.

Skor Kehidupan

Seseorang mungkin saja mencapai usia cukup panjang di atas 70 tahun misalnya. Namun kehidupannya secara hakiki bisa saja hanya separuhnya atau bisa lebih maupun kurang dari itu. Jadi dalam rumus pengukuran dapat dituliskan: Skor Kehidupan (True Score of Life) = Total Age (usia kalender) – Error of Life (kehidupan yang terbuang percuma). Dengan demikian, keberuntungan bukan pada besar kecilnya total usia namun pada Skor Kehidupan. Semakin besar error maka semakin kecil pula nilai hakiki dari kehidupan.

Sedemikian pentingnya waktu, sehingga Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa sebagai Pencipta, Pengatur dan Penguasa waktu, bersumpah atas waktu. Dia bersumpah atas waktu Fajar وَالْفَجْرِۙ (demi fajar), وَالضُّحٰىۙ (demi waktu dhuha), وَالْعَصْرِۙ (demi masa atau demi waktu ashar), dan وَالَّيْلِ (demi malam). Itu merupakan lini masa kehidupan setiap manusia sebagai sebuah hukum alam dari Sang Pencipta. Bahwa ada waktu fajar dimana seorang manusia baru terlahir, memulai pertumbuhan awal dalam periode pengasuhan. Periode ini sangat menentukan. Kapasitas diri seorang anak akan sangat ditentukan oleh kualitas pengasuhan, baik dari aspek fisik maupun dari sisi mental-psikhis. Peran orang tua dan lingkungan sekitar sangat dominan untuk menghasilkan pengasuhan yang baik beserta dampaknya. Selanjutnya waktu dhuha hingga menjelang ashar dapat dianalogikan atau menandakan puncak dari energi, potensi dan peluang bagi seseorang untuk belajar, bekerja dan menjadi manusia yang produktif. Masa masa inilah yang memungkinkan seseorang untuk mengejar mimpi-mimpi dan idialisme, mengembangkan potensi diri secara optimal dan menorehkan capaian-capaian berarti.

Demikianlah Allah mengingatkan menusia untuk benar-benar berhati-hati dan jeli soal waktu ini. Allah sebagai Pemilik dan Penguasa waktu bahkan memastikan setiap orang akan mengalami kerugian kecuali mereka yang benar-benar beriman dan beramal shaleh dan saling mengingatkan untuk kebenaran dan kesabaran. Bahkan Surah Al-’Asr yang berbicara khusus soal waktu hanya terdiri dari 3 ayat. Surah terpendek dalam Al-Quran. Ini sekaligus sebagai isyarat transendental tentang perlunya efisiensi dan efektivitas dalam pemanfaatan waktu. 

Ujian Berat bagi Generasi Millenial

Sekali lagi bahwa waktu adalah aset yang tidak pernah tergantikan dalam kehidupan manusia. Tidak bisa ditabung atau dipulihkan ketika hilang. Waktu sangat menentukan eksistensi dan kekuatan untuk survive di era yang semakin kompetitif. Namun pada saat yang bersamaan, persoalan waktu itu pula yang menjadi tantangan berat anak-anak kita.

Sebagian besar orang tua mungkin pernah dihinggapi kekhawatiran ketika mencoba  memperhatikan pola hidup keseharian anak-anaknya saat ini. Sebagian besar waktu mereka dihabiskan dengan teknologi gawai, internet, sosial media. Game adalah aplikasi yang paling banyak menyita waktu mereka. Disisi lain, data Unesco menunjukkan minat baca orang Indonesia ada di angka 0,001 persen. Artinya hanya 1 orang dari 1000 orang Indonesia yang rajin membaca. Fenomena literasi ini adalah sebuah ironi yang mencemaskan. Betapa tidak, di era revolusi baru ilmu pengetahuan dan teknologi yang bertumbuh secara eksponensial, anak-anak kita justru menghabiskan sebagian besar waktu mereka di dunia entertainment dalam berbagai bentuknya.

Anak-anak tidak menyadari bahwa mereka sedang berhadapan dengan jenis “penjajahan” baru. Penjajahan yang secara sensasional justeru menghanyutkan dalam kesenangan. Penjajahan yang secara kasat mata tidak menampilkan kesan negatif. Namun secara jangka panjang, teknologi yang dikagumi itu, jika salah menyikapi dan keliru dalam pemanfaatannya justru dapat berubah menjadi alat penjajahan yang jauh lebih menakutkan daripada penjajahan konvensional. Kita dan anak-anak kita secara bersama-sama sesungguhnya telah masuk dalam perangkap teknologi. Kita dieksplorasi habis-habisan sebagai pengguna teknologi, bahkan terus menerus berupaya mendapatkan produk teknologi versi tercanggih untuk kemudian menghabiskan sebagian besar harta kita yang paling berharga disana, yaitu waktu. Kemewahan teknologi yang seharusnya dapat mengeskalasi kapasitas kita untuk membangun kejayaan peradaban justeru menggerus secara esktrim potensi itu dengan membiarkan teknologi itu terus menggerogoti waktu kita.

Pertanyaan krusialnya adalah apakah kehidupan anak-anak kita, generasi bangsa ini akan baik-baik saja di kemudian hari dengan pola pemanfaatan waktu yang disebutkan itu? Dapatkah bonus demografi yang sedang kita nantikan dengan optimis benar-benar memberikan insentif bagi pembangunan supemasi peradaban bangsa kedepan? Sementara faktanya bahwa anak-anak kita, tidak cukup proporsional dalam mengaktulisasikan literasi digital? Bahkan bisa jadi bukan hanya siswanya tapi mungkin guru dan orang tua pun situasinya kurang lebih sama dalam konteks tersebut. Ketika ilmuwan Amerika sedang menggagas peluang membangun pemukinan di planet Mars, anak-anak kita justeru sedang kesulitan menata waktu mereka. Parahnya lagi, bahwa kita orang tua, guru dan masyarakat pada umumnya, ikut menjadi bagian dalam “permainan” tersebut.  Pertanyaannya adalah bagaimana akhir dari permainan ini? Hanya waktu yang dapat menjawabnya.

Comments

Post a Comment

Berita Populer

MEWASPADAI DISFUNGSIONAL PENDIDIKAN

MENGAKTIFKAN POLA PIKIR BERTUMBUH (GROWTH MINDSET) DI RUANG KELAS

MERESPON POST TRUTH ERA

INSPIRASI PEMBELAJARAN

NGAJI PENDIDIKAN KE SINGAPURA

REVITALISASI CLASSROOM ASSESSMENT SEBAGAI PERANCAH PEMBELAJARAN