MEWASPADAI DISFUNGSIONAL PENDIDIKAN
Apa yang salah dalam pendidikan kita
sehingga tidak mampu menorehkan jejak keterdidikan kepada mereka yang telah
menghabiskan waktu panjang mengarungi dunia pendidikan? Apakah pendidikan tidak
lagi berfungsi menjadi penyemai nilai-nilai kebaikan sehingga gagal
menghasilkan orang-orang yang terdidik tetapi sekaligus menjadi orang baik?
Tentu saja tidak serta merta dapat disimpulkan bahwa pendidikan, dalam hal ini terutama pendidikan formal adalah satu-satunya penyebab terhadap situasi atau anomali
dimaksud. Tulisan ini mencoba mengupas dan menelusuri lebih jauh fenomena yang
merisaukan tersebut.
Kesenjangan
Regulasi Kebijakan dan Praktik Pendidikan
Dalam Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional termuat fungsi dan tujuan
pendidikan nasional yang menurut penulis cukup idial karena menggambarkan
pendidikan yang holistik. Jika fungsi dan tujuan pendidikan yang dirumskan
dalam Undang-Undang tersebut diekstraksi maka kita akan mendapatkan empat
domain utama yaitu: karakter, intelektualitas, sosial dan spiritual. Domain
inilah yang seharusnya menjadi barometer bagi pihak pengambil kebijakan hingga
pelaksana teknis layanan pendidikan yaitu pihak sekolah. Apakah realitas
praktik pendidikan di sekolah telah merefleksikan keempat domain tersebut
secara koheren dan proporsional?
Faktanya, sekolah rentan terjebak dalam pola pikir
yang parsial dalam mengembangkan layanan pendidikan. Kecenderungan untuk meraih
prestise melalui keunggulan akademik telah menjadi fenomena yang umum di dunia
pendidikan kita selama beberapa dekade terakhir.
Akan tetapi, menariknya bahwa fenomena
tersebut sesungguhnya bukan hanya terjadi di Indonesia. Kwang (2016) dalam
bukunya yang mengulas secara komparatif tentang kreativitas antara Barat dan
Asia, menyatakan perihal ini secara tegas. Menurut hasil risetnya, masyarakat
Asia menaruh perhatian yang sangat tinggi pada pencapaian akademik. Selain itu,
kultur pendidikan di Asia menurutnya cenderung sangat kompetitif. Pada sisi
lain, Barat justeru lebih peduli pada kesejahteraan psikologis dan pengembangan
potensi anak secara utuh dalam proses pendidikan. Kecenderungan tersebut pada
akhirnya berimplikasi pada pengelolaan pembelajaran di sekolah.
Di Indonesia, fenomena tersebut
tergambar dari kurikulum hingga praktik pembelajaran di kelas. Konten kurikulum
kita masih cukup padat. Demikian juga guru selalu berambisi untuk mengajarkan
sebanyak mungkin pengetahuan pada siswanya. Setiap ada wacana untuk mengurangi
beban muatan kurikulum selalu menimbulkan kecemasan guru karena khawatir tidak
cukup waktu mengajarkan konten yang seolah sudah ditakar secara konstan oleh
guru. Pada akhirnya guru selalu tertarik pada pakem pembelajaran berbasis
konten. Akibatnya, pembelajaran menjadi dangkal. Alih-alih siswa mendapatkan
pemahaman yang mendalam yang selanjutnya dapat ditransformasikan menjadi
nilai-nilai kearifan, justru yang terjadi tidak lebih dari sekedar pencapaian
daya serap kurikulum.
Kesenjangan antara spirit
regulasi dengan praktik pendidikan di sekolah secara nyata terjadi dengan
gradasi yang beragam. Pendidikan yang humanis, religius dan holistik yang
dicitakan dalam regulasi, pada tataran praktis berubah menjadi pendidikan yang
instrumental, kompetitif, menekan, dan reduksionis. Memang beberapa negara di
Asia berhasil mencetak pelajar yang sukses luar biasa dibidang pencapaian
akademik. Namun Kwang juga mencontohkan misalnya, betapa sistem pendidikan Singapura
yang sangat kompetitif menuai kritik tajam karena telah menghasilkan banyak
ilmuwan yang kaya dan cerdas, tetapi egois.
Di Indonesia, budaya kompetisi
sekaligus reduksionis atau parsial plus tekanan daya serap kurikulum
menjadi catatan krusial dunia pendidikan tanah air. Kebijakan merdeka belajar
yang telah diimplementasikan sejak dua tahun terakhir mencoaba berupaya
mengurangi kesenjangan antara spirit regulasi dengan praktik pendidikan di
sekolah. Namun dapat dipastikan bahwa hal itu tidak mudah dan tentunya tidak
bisa dengan proses yang instan. Banyak “komorbit” dalam tubuh pendidikan kita yang
tidak serta merta dapat menguap dengan suntikan “vaksin” merdeka belajar.
Perlunya
Reposisi Praktik Pendidikan
Ketika
konsep dan praktek pendidikan kita hanya mampu membekali peserta didik dengan
pengetahuan atau keterampilan intelektual maka itu artinya pendidikan kita baru
mampu menembus permukaan yang dangkal. Jauh di bawah permukan tersebut justeru
terletak esensi pendidikan sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Sisdiknas
tersebut atas.
Kritis sekali tulisannya. Banyak yang sekolah karena mengejar ijazah. Bukan mengejar ridho Allah
ReplyDeleteTerima kasih PaK Eka atas komennya yg sangat mencerahkan
ReplyDeletePendidikan kita sudah semakin tertinggal jauh terutama ranah afektif yg terabaikan
ReplyDeletesetuju banget, tertinggal dan tidak holistik
DeleteTerimakasih inspirasinya Pak Mansur. Perlunya roadmap pendidikan dan cetak birunya agar pendidikan sesuai arahnya.
ReplyDeleteSalam blogwalking,,
Sama sama Mas. Setuju banget bahwa cetak biru pendidikan sangat diperlukan. Salam sukses
DeleteTrimakasih pak Mansur Arsyad. Catatan akhir tahun tentang wajah pendidikan Indonesia yang sangat kritis dan inspiratif. Semoga "membangunkan" insan pendidik kita untuk segera menyadari tujuan pendidikan yang sesungguhnya. Sepertinya kita harus belajar kembali bagaimana sesungguhnya "belajar"
ReplyDeleteTerima kasih atas koment yang disertai ulasan singkat dan bernash dari Pak Gandi, sukses selalu Pak
DeleteTulisan yang mencerahkan, semoga muncul pikiran-pikiran segar Pak Mansur berikutnya agar makro.dan mikro pendidikan Indonesia dapat lebih baik..
ReplyDeleteSiap laksanakan Kang Aip. Hatur nuwun kang
DeleteInspiratif. Tidak mudah untuk merancang dan melaksanakan pembelajaran yg humas, bukan hanya sorotan ke siswa tetapi juga ke guru, memanusiakan manusia adalah konsep klasik tp sangat sulit diterapkan pun dalam dunia pendidikan yg sesungguhnya dunia uji coba praktis perbaikan value dalam sistem kehidupan manusia. Salam.Pak Mansur.. ttp semangat
ReplyDeleteHumas maksudnya humanis
DeleteSiap dan sepakat Bu bahwa guru adalah faktor kunci yang paling utama. Terima kasih Bu ulasannya yang cerdas. Salam.
DeletePerlu ide baru buat Wantannas nih Pak Mansur
ReplyDeleteInsya Allah, siap
Delete