MEWASPADAI DISFUNGSIONAL PENDIDIKAN

 

Penulis: Mansur Arsyad
======================
Kasus-kasus kejahatan akir-akhir ini atau bahkan beberapa tahun terakhir ini tidak saja mengalami eskalasi secara kuantitatif namun sudah meluas secara kualitatif dalam berbagai bentuk kriminalitas. Yang mengejutkan adalah para aktor kejahatan tersebut ternyata bukan hanya kalangan awam namun juga “kalangan atas” atau orang-orang berpangkat, kaum terdidik dan orang-orang terhormat secara sosial. Fenomena ini adalah sebuah anomali yang serius sekaligus mencengangkan. Wilayah-wilayah “sakral” semisal lembaga pendidikan keagamaan pun tidak steril dari kasus-kasus kekerasan, kasus-kasus asusila maupun kajahatan lainnya. Bahkan orang-orang yang berada pada puncak kualifikasi pendidikan dan jabatan akademik justru tidak segan melakukan penghianatan hukum, norma dan etika di ranah pendidikan.

Apa yang salah dalam pendidikan kita sehingga tidak mampu menorehkan jejak keterdidikan kepada mereka yang telah menghabiskan waktu panjang mengarungi dunia pendidikan? Apakah pendidikan tidak lagi berfungsi menjadi penyemai nilai-nilai kebaikan sehingga gagal menghasilkan orang-orang yang terdidik tetapi sekaligus menjadi orang baik? Tentu saja tidak serta merta dapat disimpulkan bahwa pendidikan, dalam hal ini terutama pendidikan formal adalah satu-satunya penyebab terhadap situasi atau anomali dimaksud. Tulisan ini mencoba mengupas dan menelusuri lebih jauh fenomena yang merisaukan tersebut.   

Kesenjangan Regulasi Kebijakan dan Praktik Pendidikan

Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional termuat fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang menurut penulis cukup idial karena menggambarkan pendidikan yang holistik. Jika fungsi dan tujuan pendidikan yang dirumskan dalam Undang-Undang tersebut diekstraksi maka kita akan mendapatkan empat domain utama yaitu: karakter, intelektualitas, sosial dan spiritual. Domain inilah yang seharusnya menjadi barometer bagi pihak pengambil kebijakan hingga pelaksana teknis layanan pendidikan yaitu pihak sekolah. Apakah realitas praktik pendidikan di sekolah telah merefleksikan keempat domain tersebut secara koheren dan proporsional?

Faktanya, sekolah rentan terjebak dalam pola pikir yang parsial dalam mengembangkan layanan pendidikan. Kecenderungan untuk meraih prestise melalui keunggulan akademik telah menjadi fenomena yang umum di dunia pendidikan kita selama beberapa dekade terakhir.

Akan tetapi, menariknya bahwa fenomena tersebut sesungguhnya bukan hanya terjadi di Indonesia. Kwang (2016) dalam bukunya yang mengulas secara komparatif tentang kreativitas antara Barat dan Asia, menyatakan perihal ini secara tegas. Menurut hasil risetnya, masyarakat Asia menaruh perhatian yang sangat tinggi pada pencapaian akademik. Selain itu, kultur pendidikan di Asia menurutnya cenderung sangat kompetitif. Pada sisi lain, Barat justeru lebih peduli pada kesejahteraan psikologis dan pengembangan potensi anak secara utuh dalam proses pendidikan. Kecenderungan tersebut pada akhirnya berimplikasi pada pengelolaan pembelajaran di sekolah.

Di Indonesia, fenomena tersebut tergambar dari kurikulum hingga praktik pembelajaran di kelas. Konten kurikulum kita masih cukup padat. Demikian juga guru selalu berambisi untuk mengajarkan sebanyak mungkin pengetahuan pada siswanya. Setiap ada wacana untuk mengurangi beban muatan kurikulum selalu menimbulkan kecemasan guru karena khawatir tidak cukup waktu mengajarkan konten yang seolah sudah ditakar secara konstan oleh guru. Pada akhirnya guru selalu tertarik pada pakem pembelajaran berbasis konten. Akibatnya, pembelajaran menjadi dangkal. Alih-alih siswa mendapatkan pemahaman yang mendalam yang selanjutnya dapat ditransformasikan menjadi nilai-nilai kearifan, justru yang terjadi tidak lebih dari sekedar pencapaian daya serap kurikulum.

Kesenjangan antara spirit regulasi dengan praktik pendidikan di sekolah secara nyata terjadi dengan gradasi yang beragam. Pendidikan yang humanis, religius dan holistik yang dicitakan dalam regulasi, pada tataran praktis berubah menjadi pendidikan yang instrumental, kompetitif, menekan, dan reduksionis. Memang beberapa negara di Asia berhasil mencetak pelajar yang sukses luar biasa dibidang pencapaian akademik. Namun Kwang juga mencontohkan  misalnya, betapa sistem pendidikan Singapura yang sangat kompetitif menuai kritik tajam karena telah menghasilkan banyak ilmuwan yang kaya dan cerdas, tetapi egois.

Di Indonesia, budaya kompetisi sekaligus reduksionis atau parsial plus tekanan daya serap kurikulum menjadi catatan krusial dunia pendidikan tanah air. Kebijakan merdeka belajar yang telah diimplementasikan sejak dua tahun terakhir mencoaba berupaya mengurangi kesenjangan antara spirit regulasi dengan praktik pendidikan di sekolah. Namun dapat dipastikan bahwa hal itu tidak mudah dan tentunya tidak bisa dengan proses yang instan. Banyak “komorbit” dalam tubuh pendidikan kita yang tidak serta merta dapat menguap dengan suntikan “vaksin” merdeka belajar. 

Perlunya Reposisi Praktik Pendidikan

Ketika konsep dan praktek pendidikan kita hanya mampu membekali peserta didik dengan pengetahuan atau keterampilan intelektual maka itu artinya pendidikan kita baru mampu menembus permukaan yang dangkal. Jauh di bawah permukan tersebut justeru terletak esensi pendidikan sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Sisdiknas tersebut atas.

Tugas kolektif kita adalah bagaimana mereposisi praktik pendidikan kita pada tujuan yang sejati. Membangun kesadaran anak-anak kita untuk belajar demi tujuan kebaikan sama pentingnya dengan mengajarkan mereka tentang pengetahuan. Belajar untuk mencapai kesuksesan dalam bekerja tentu saja diperlukan. Namun sangat tidak bijak jika tujuan belajar hanya sekedar untuk mendapatkan kehormatan, kekayaan dan posisi karir yang tinggi. Sekolah tidak harus mengajarkan pengetahuan yang terlalu banyak kepada siswa. Yang diperlukan justeru pemahaman yang mendalam sekaligus kesadaran bahwa belajar adalah untuk menyempurnakan kualitas kemanusiaan

DAFTAR BACAAN
Kwang, Ng Aik. 2016. Asia vs Barat. Yogyakarta: Kaifa

Comments

  1. Kritis sekali tulisannya. Banyak yang sekolah karena mengejar ijazah. Bukan mengejar ridho Allah

    ReplyDelete
  2. Terima kasih PaK Eka atas komennya yg sangat mencerahkan

    ReplyDelete
  3. Pendidikan kita sudah semakin tertinggal jauh terutama ranah afektif yg terabaikan

    ReplyDelete
  4. Terimakasih inspirasinya Pak Mansur. Perlunya roadmap pendidikan dan cetak birunya agar pendidikan sesuai arahnya.

    Salam blogwalking,,

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sama sama Mas. Setuju banget bahwa cetak biru pendidikan sangat diperlukan. Salam sukses

      Delete
  5. Trimakasih pak Mansur Arsyad. Catatan akhir tahun tentang wajah pendidikan Indonesia yang sangat kritis dan inspiratif. Semoga "membangunkan" insan pendidik kita untuk segera menyadari tujuan pendidikan yang sesungguhnya. Sepertinya kita harus belajar kembali bagaimana sesungguhnya "belajar"

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih atas koment yang disertai ulasan singkat dan bernash dari Pak Gandi, sukses selalu Pak

      Delete
  6. Tulisan yang mencerahkan, semoga muncul pikiran-pikiran segar Pak Mansur berikutnya agar makro.dan mikro pendidikan Indonesia dapat lebih baik..

    ReplyDelete
  7. Inspiratif. Tidak mudah untuk merancang dan melaksanakan pembelajaran yg humas, bukan hanya sorotan ke siswa tetapi juga ke guru, memanusiakan manusia adalah konsep klasik tp sangat sulit diterapkan pun dalam dunia pendidikan yg sesungguhnya dunia uji coba praktis perbaikan value dalam sistem kehidupan manusia. Salam.Pak Mansur.. ttp semangat

    ReplyDelete
    Replies
    1. Siap dan sepakat Bu bahwa guru adalah faktor kunci yang paling utama. Terima kasih Bu ulasannya yang cerdas. Salam.

      Delete
  8. Perlu ide baru buat Wantannas nih Pak Mansur

    ReplyDelete

Post a Comment

Berita Populer

MENGAKTIFKAN POLA PIKIR BERTUMBUH (GROWTH MINDSET) DI RUANG KELAS

Time is Life: Ujian Kearifan Dalam Memanfaatkan Waktu

MERESPON POST TRUTH ERA

INSPIRASI PEMBELAJARAN

NGAJI PENDIDIKAN KE SINGAPURA

REVITALISASI CLASSROOM ASSESSMENT SEBAGAI PERANCAH PEMBELAJARAN